DOA YANG TERAKHIR
“ setiap manusia butuh manusia yang
lainnya, manusia juga memiliki perasaan yang tidak bisa kita mainkan begitu
saja. Mereka bisa merasakan, menangis, marah, tersenyum, tertawa, dan lainnya.
Hargai dan hormati mereka, karena kita sama dengan mereka “
Mungkin
aku tak pernah menyangka, akan terjadi seperti ini. Waktu terasa begitu cepat
berjalan, seakan dengan mudahnya aku kehilangan mereka. Mereka yang aku sayangi
dan aku cintai. Kalian akan mengerti setelah membaca ini. Disini akan
kuceritakan kisah hidupku, waktuku bersama mereka. Tapi intinya aku sayang
mereka selamanya.
Awal
dari Semuanya
Aku
berjalan sedikit kurang nyaman, karena hari ini adalah hari pertama masuk
sekolah. Perasaanku gelisah, meskipun aku tau aku pasti sekelas dia.
Perkenalkan aku Fadhila Husna, anak remaja tomboi dan penuh dengan rasa keingin
tahuan lebih mengenai kehidupan.
Tiba-tiba dia menepuk bahuku, “Dhilla, kamu kemana aja? Aku cari kamu
kemana mana ternyata kamu ada disini” aku yang terkejut dengan kehadirannya
hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Dia, dia adalah perempuan sebaya denganku,
dengan kegemaran mengambar. Aku akui bahwa dia memang pandai dalam bidang seni.
Namanya adalah Rima Utami. Ya, aku sudah kenal dengannya sekitar 2 tahun yang
lalu. Dia adalah sahabatku, sahabat terbaikku. Setelah terdiam sejenak lalu
kami berjalan menyusuri koridor dan berhenti di depan ruangan yang bertuliskan
7 Bangau. Rima menarik tanganku, dan membawaku ke meja terdepan di ruangan itu.
“La, kita duduk disini aja ya..” aku menjawab dengan anggukan kepala saja, yang
artinya aku setuju dengan pilihannya. Hari-hari kita lewati bersama, canda dan
tawa ria mengiringi langkahku dengannya. Kami memang pernah bertengkar, entah
kami berbeda pendapat atau tidak suka dengan pilihan kami berdua. Tapi, jika
tidak ada pertengkaran itu, mungkin tidak akan lebih berwarna perjalananku
dengannya. Rima memang orang yang bisa mengerti aku, dia tau bagaimana caranya
agar aku tersenyum kembali saat aku mendapat masalah. Dan dia selalu bisa
membuatku tertawa dengan tingkahnya. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu.
Seminggu lagi kita akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Aku melihat bahwa Rima
sangat bersemangat untuk menhadapi ujian. Karena aku tau, Rima ingin masuk
kedalam urutan 10 besar. Tapi entah mengapa berbeda denganku. Akhir-akhir ini,
aku sering merasa sakit kepala. Pikirku itu hanya sakit kepala biasa, tapi
berbeda dengan pemikiran orang tuaku. Aku tetap menjalani hari-hariku seperti
biasa. Sampai aku merasakan sakit kepala yang luar biasa. Orang tuaku panik,
dan langsung membawaku kerumah sakit terdekat. Aku tidak tau apa yang dikatakan
dokter dengan orang tuaku, yang jelas setelah berbicara dengan dokter, bundaku
tersenyum sambil meneteskan air mata di saat memelukku. Aku semakin penasaran
dengan sakit kepalaku, tapi orang tuaku tetap merahasiakannya. Sikap mereka
semakin membuatku penasaran, aku terus mencari kesempatan. Dan saat kesempatan
itu tiba, aku membongkar lemari orang tuaku. Aku menemukan surat dari rumah
sakit, dan kalian tau.. ternyata aku menderita KANKER OTAK. Sontak aku
terkejut, dan sedikit demi sedikit sang indra penglihatan mengeluarkan air
mata. Aku tak pernah menyangka akan terjadi seperti ini. Tapi aku masih
menyakini bahwa, umur dan takdir itu berada di tangan tuhan.. jadi dengan
segala kebaikan tuhan yang telah memberikan kesempatan kita untuk tetap hidup,
kita harus menggunakannya untuk menambah pahala di akhirat. Lakukanlah semua
yang baik-baik dengan kesempatan yang masih ada. Aku memberanikan diri untuk
bertanya kepada orang tuaku tentang apa yang kubaca tadi siang. “bun, aku mau
tanya” kataku. “iya sayang ada apa?” jawab bunda. “bun, apa benar bahwa aku
menderita kanker otak stadium satu?” raut wajah bunda langsung terkejut
mendengar pertanyaan yang aku lontarkan. Seketika itu bunda menangis sambil
mendekapku dalam dekapannya. “kami akan berusaha sayang, kami akan terus
berusaha. Untuk anak kami tercinta.” Jawab bunda. “bun, aku ingin bunda dan
ayah tidak usah memasakkan kehendak tuhan, jika memang penyakitku tidak bisa di
sembuhkan meskipun kita telah berusaha.. aku menghela nafas sejenak, aku ikhlas
bun.” Suasana di rumahku berubah, dan yang jelas 3 hari kedepan aku akan
menjalani kemo terapi. Aku belum siap jika aku harus menceritakan ini semua
kepada sahabat karibku, Rima. Aku tak ingin membuat semangat Rima berkurang
karena mendengar tentang apa yang di deritaku. Hari sekolah pun tiba, seperti
biasa Rima langsung bercerita tentang apa yang dia alami. Aku menanggapi itu
dengan antusias, karena aku tak ingin Rima curiga. Sepulang sekolah aku
langsung di antar menuju rumah sakit, karena orang tuaku mempercepat jadwal
kemo terapiku. Dengan alasan, mereka tidak mau mengganggu waktu belajarku saat
ujian. Aku paham maksud mereka, walaupun umur tidak ada yang tau, setidaknya
aku bisa membuat mereka menangis bangga. Kemo terapi sudah kulalui. Setelah
kemo aku merasa sangat pusing dan mual sekali. Akan tetapi senyumku terus
mengembang, untuk meredam ke khawatiran orang tuaku. Tes sudah berlalu, dan
Rima mendapatkan apa yang dia impikan, masuk ke dalam urutan 10 besar. Kini aku
sudah bukan anak kelas 7 lagi. Sayangnya, aku dan Rima di pisahkan. Aku masuk
ke kelas 8 Angsa, Rima kelas 8 Jerapah. Walaupun begitu, aku dan Rima tetap bersama.
Kami ingin walaupun kami berbeda kelas, kami masih bisa bersama. Dan aku tak
pernah menyangka bahwa akan terjadi seperti ini. Seorang lelaki menaruh
cintanya kepada diriku. Dia sangat tampan, baik, dan dia sangat berusaha untuk
mendapatkanku. Tapi ternyata, lelaki itu adalah lelaki yang pernah Rima
dambakan. Aku berpikir bahwa seandainya aku jatuh cinta kepada lelaki itu, Rima
tak akan keberatan. Karena aku tau, kini Rima sudah memiliki dambaan hati yang
baru. Tapi Rima tak mau bercerita siapakah damban hatinya itu, Rima kini
berubah. Aku tidak tau akan apa sebabnya. Cerita tentang lelaki yang jatuh
cinta padaku sudah terungkap. Awalnya Rima mendukungku, tapi aku tak tau kalau
ternyata di belakangku Rima merasa di khianati. Aku terus berusaha memperbaiki
masalah ini. Aku di bully, di salah-salahkan. Sampai aku tak kuasa menahan
tangisku di hadapan Rima. Dan aku memilih pilihan untuk menjauhi lelaki itu
agar aku dan Rima bias kembali bersama. Sudah seminggu, aku menangis dan selalu
keluar kata maaf dari mulutku. Sudah seminggu juga aku menjauhi lelaki itu, dan
menutup kemungkinan bahwa aku tak akan pernah menjadi kekasihnya. Aku tak
menyangka, ternyata di saat itu juga kanker sudah menggerogoti sebagian otakku.
Padahal aku rajin kemo terapi, tapi kehendak-Nya tidak bisa di tolak. Dokter
berkata bahwa, jalan satu-satunya adalah doa dan mukjizat yang tuhan berikan.
Orang tuaku sudah tak tau lagi apa yang harus mereka lakukan. Aku sadar bahwa
umurku sudah tak panjang lagi. Dan aku ingin Rima memaafkanku. Hati Rima keras
sekali, aku bingung harus dengan cara apalagi agar Rima mau memaafkanku. Tapi
kini aku mulai merindukan lelaki itu. Seakan hatiku rindu dengannya dan tak
ingin jauh-jauh darinya. Tapi, bagaimana dengan Rima? dan tuhan telah
memberikan jalan, kini aku sudah menjadi kekasih lelaki itu. Rima sangat susah
untuk memaafkanku. Aku mendengar dari temanku, bahwa kini Rima tak ingin
menggangguku lagi. Dia ingin bahagia tanpa diriku. Tapi itu tak akan
menyurutkan semangatku untuk memperbaiki semuanya sebelum aku pergi. Tapi
usahaku sia-sia, Rima masih belum bisa memaafkanku. Kekasihku selalu
menenangkanku dan menyemangatiku. Aku tau, dia juga merasa bersalah. Maka, aku
tak ingin membuatnya bersedih. Aku berusaha bahagia menjalani hidupku meskipun
sebenarnya aku rindu dengan Rima. Selasa, 14 Januari. Aku di bawa kerumah sakit
karena kondisiku sudah kritis. Aku sudah tak sadarkan diri. Setelah aku
sadarkan diri, aku meneteskan air mata dan aku berdoa.
“Ya
Allah, ampunilah segala dosaku, dosa orang tuaku, dosa guru-guruku, dosa
teman-temanku, Ya Robb, aku minta maaf atas apa yang telah aku lakukan semasa
hidupku. Aku ikhlas jika memang ini cara yang terbaik untuk kembali kepadaMu.
Aku hanya memohon keinginan terakhirku dalam doa yang mungkin terakhir aku ucapkan.
Jagalah orang tuaku, sayangilah mereka, berilah mereka panjang umur dan
kesehatan, jagalah semua orang-orang yang aku sayangi. Ya Allah, aku memohon
agar masalahku dengan Rima cepat selesai. Meskipun aku tak banyak waktu yang
aku punya. Bukalah pintu hatinya, agar aku tenang. Kabulkan doaku ini Ya Robb.
Amin.”
Setelah
itu, tepat pada tanggal 15 Januari Fadhilla Husna kembali kepangkuan tuhan.
Rima, sangat terkejut mendengar berita ini. Dia mendekati tubuh Dhilla yang
sudah tak bisa bergerak lagi. Rima menangis tersedu-sedu, dan yang jelas dia
sudah memafkan Dhilla. Walaupun Dhilla tak bisa mendengarnya. Tapi yang jelas
doa terakhir Dhilla sudah di kabulkan. Dan Dhilla tenang disana..
Tamat
Author by Dean Rahmi